Teriakan, pintu yg dibanting, sampai aksi saling mendiamkan, yg kerap mewarnai pertengkaran pasangan rumah tangga ternyata bisa, melukai emosi anak & berdampak jangka panjang.
Anak-anak usia balita yg tinggal dengan kedua orangtua yg sering terlibat percekcokan akan tumbuh menjadi anak yg secara emosional tidak kondusif sehingga mereka rentan depresi, menderita kecemasan, & mengalami gangguan sikap di usia sekolah dasar. Perkembangan konsep diri juga bisa, terganggu.
Penelitian yg dipublikasikan dalam jurnal Child Development menandakan hal tersebut. Penelitian dilakukan terhadap 235 orang dari keluarga kelas menengah di beberapa wilayah di Amerika Serikat. Para responden responden diwawancara mengenai pertengkaran orangtua ketika mereka masih bersekolah di TK. Kemudian 7 tahun kemudian mereka diwawancara kembali.
Menurut belum dewasa tersebut, ketika mereka masih duduk di dingklik Taman Kanak-kanak & menyaksikan orangtua sering bertengkar, mereka merasa tidak kondusif & kurang terlindungi. Mereka juga mengaku merasa sengsara dengan pertengkaran itu. Sebagian besar anak yg orangtuanya tidak akur itu juga cenderung lebih berangasan & gampang marah.
Yang menarik, ternyata tidak semua konflik rumah tangga itu menyebabkan persoalan pada anak. Jika orangtua bisa, berkonflik secara dewasa, bisa menahan diri untuk tidak saling berteriak / melaksanakan aksi kekerasan, imbas pertengkaran itu tidak negatif.
"Masalah terjadi setiap hari. Namun kalau orangtua bisa, berhubungan menyelesaikannya serta menampilkan emosi yg positif dikala berkonflik, kesudahannya justru positif bagi anak," kata ketua peneliti E.Mark Cummings, profesor psikologi dari Universitas Notre Dame.
Dengan kata lain, perbedaan pendapat antar suami istri yg bisa, diselesaikan secara baik justru akan mengubah cara pan&g anak terhadap suatu konflik.
Ditambahkan oleh Cummings, untuk membantu anak mempunyai kematangan emosi yg baik, kuncinya justru bukan membesarkan mereka dalam keluarga yg steril dari konflik. Orangtua seharusnya bisa memberi pola pada anak bagaimana mengendalikan emosi untuk "bertengkar" secara adil & menuntaskan konflik dengan dewasa.
"Bertengkar yaitu hal yg normal dalam rumah tangga. Tapi orangtua harus sadar bahwa belum dewasa mereka melihat & mendengarkan," katanya.
Anak-anak usia balita yg tinggal dengan kedua orangtua yg sering terlibat percekcokan akan tumbuh menjadi anak yg secara emosional tidak kondusif sehingga mereka rentan depresi, menderita kecemasan, & mengalami gangguan sikap di usia sekolah dasar. Perkembangan konsep diri juga bisa, terganggu.
Penelitian yg dipublikasikan dalam jurnal Child Development menandakan hal tersebut. Penelitian dilakukan terhadap 235 orang dari keluarga kelas menengah di beberapa wilayah di Amerika Serikat. Para responden responden diwawancara mengenai pertengkaran orangtua ketika mereka masih bersekolah di TK. Kemudian 7 tahun kemudian mereka diwawancara kembali.
Menurut belum dewasa tersebut, ketika mereka masih duduk di dingklik Taman Kanak-kanak & menyaksikan orangtua sering bertengkar, mereka merasa tidak kondusif & kurang terlindungi. Mereka juga mengaku merasa sengsara dengan pertengkaran itu. Sebagian besar anak yg orangtuanya tidak akur itu juga cenderung lebih berangasan & gampang marah.
Yang menarik, ternyata tidak semua konflik rumah tangga itu menyebabkan persoalan pada anak. Jika orangtua bisa, berkonflik secara dewasa, bisa menahan diri untuk tidak saling berteriak / melaksanakan aksi kekerasan, imbas pertengkaran itu tidak negatif.
"Masalah terjadi setiap hari. Namun kalau orangtua bisa, berhubungan menyelesaikannya serta menampilkan emosi yg positif dikala berkonflik, kesudahannya justru positif bagi anak," kata ketua peneliti E.Mark Cummings, profesor psikologi dari Universitas Notre Dame.
Dengan kata lain, perbedaan pendapat antar suami istri yg bisa, diselesaikan secara baik justru akan mengubah cara pan&g anak terhadap suatu konflik.
Ditambahkan oleh Cummings, untuk membantu anak mempunyai kematangan emosi yg baik, kuncinya justru bukan membesarkan mereka dalam keluarga yg steril dari konflik. Orangtua seharusnya bisa memberi pola pada anak bagaimana mengendalikan emosi untuk "bertengkar" secara adil & menuntaskan konflik dengan dewasa.
"Bertengkar yaitu hal yg normal dalam rumah tangga. Tapi orangtua harus sadar bahwa belum dewasa mereka melihat & mendengarkan," katanya.